![]() |
Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Serap Tenaga Kerja, dokpri. |
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara pada triwulan III 2017. Sebagai salah satu indikator makroekonomi, angka pertumbuhan ekonomi ini selalu ditunggu-tunggu oleh para pelaku kebijakan. Selain berfungsi untuk melihat struktur perekonomian, pertumbuhan ekonomi juga dapat digunakan untuk melihat seberapa besar pangsa pasar sekaligus peluang usaha yang relevan di suatu wilayah.
BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Maluku
Utara (Malut) pada triwulan III ini adalah sebesar 7,78 persen. Angka
pertumbuhan Malut kali ini jauh melebihi angka pertumbuhan ekonomi secara
nasional yang pada triwulan III ini hanya sebesar 5,06 persen. Secara umum
angka pertumbuhan ekonomi Malut di triwulan III 2017 disumbang oleh seluruh
lapangan usaha. Apabila diamati menurut lapangan usahanya, industri manufaktur
atau pengolahan menjadi lapangan usaha utama pertumbuhan ekonomi Malut.
Lapangan usaha ini tumbuh mencapai 41,95 persen sekaligus menjadi sumber utama
pertumbuhan ekonomi. Kalau dilihat dari sisi pengeluaran, komponen ekspor luar
negeri juga mendominasi angka pertumbuhan ekonomi Malut, yakni mencapai 563,29
persen.
Secara kumulatif, dari triwulan I sampai
triwulan III 2017, ekonomi Malut tumbuh sebesar 7,46 persen. Lagi-lagi,
industri pengolahan masih menjadi satu-satunya tumpuan gerakan ekonomi Malut
dengan pertumbuhan kumulatif mencapai 27,19 persen. Kondisi yang sama juga
menunjukkan bahwa ekspor luar negeri juga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
Malut dari segi pengeluaran.
Secara teori dikatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi menunjukkan akumulasi nilai tambah yang dihasilkan seluruh aktivitas
perkonomian mengalami pertumbuhan. Maka tentunya, tumbuhnya nilai tambah
tersebut dihasilkan dengan menggunakan faktor produksi salah satunya adalah
tenaga kerja. Tanpa tenaga kerja, proses menambah nilai (value added) suatu barang atau jasa tidak akan terjadi. Oleh karena
itu, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki kualitas yang baik
jikalau mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia.
Kendati demikian, ternyata pertumbuhan
ekonomi Malut yang sebesar 7,78 persen tersebut justru mengandung beberapa
kejanggalan, salah satunya terkait dengan angka pengangguran di Malut hingga
triwulan III. Tecatat hingga Agustus 2017, angkatan kerja di Malut adalah
sebanyak 516,2 ribu orang, 97,8 ribu orang di antaranya merupakan angkatan
kerja wilayah Ternate. Bila ditelisik lebih jauh, tenaga kerja yang tersedia di
Malut begitu melimpah dan siap digunakan untuk memutar roda perekonomian dan
mencetak pertumbuhan ekonomi. Walaupun begitu, tak dinyana Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) Malut mengalami penurunan, dari 69,48 persen di Februari
menjadi 63,48 persen pada per Agustus 2017. Terdapat penurunan sebesar -2,54
persen terjadi dari Februari hingga Agustus. Belum lagi bila dibandingkan
terhadap Agustus 2016, TPAK Malut bahkan mengalami penurunan hingga -5,83
persen.
Sebagai salah satu indikator yang
mengukur tingkat partisipasi angkatan kerja, kondisi penurunan TPAK ini menjadi
sebuah sinyal tidak baik di tengah penguatan pertumbuhan ekonomi Malut.
Mayoritas tenaga kerja masih mendominasi lapangan usaha pertanian, perkebunan,
kehutanan, perburuan dan perikanan, yakni sebesar 199,0 ribu orang. Sementara
itu, kenyataan data mengatakan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi Malut triwulan
III 2017 adalah lapangan usaha industri pengolahan. Hal ini bermakna bahwa daya
serap industri pengolahan di Malut masih terbilang kecil terhadap angkata kerja
yang tersedia.
BPS juga menyebutkan bahwa Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) di Malut adalah sebesar 5,33 persen pada Agustus. Angka itu terlihat
meningkat jika dibandingkan terhadap kondisi Februari yang sebesar 4,01 persen.
Sebagai sebuah indikator mengukur sisi permintaan (demand) di bursa tenaga kerja, peningkatan ekonomi Malut masih
belum percaya diri untuk menggunakan ketersediaan tenaga kerja.
Lebih jauh, bila diurai menurut jenjang
pendidikan terakhir angkatan kerja yang ada di Malut, pun terdapat permasalahan
serius. Pada Agustus 2017, TPT untuk penduduk pendidikan terakhir Sekolah
Menengah Atas (SMA) adalah yang tertinggi, yaitu sebesar 9,65 persen. Kemudian
diikuti oleh mereka yang berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
yakni sebesar 8,15 persen. Angka tersebut dapat diintepretasikan bahwa untuk
setiap 100 orang angkatan kerja, ada sebanyak 9 – 10 orang lulusan SMA dan
sebanyak 8 – 9 orang lulusan SMK yang menganggur di Malut.
Di tengah pertumbuhan ekonomi Malut yang
kian gemilang, justru Malut memiliki tantangan berat bagaimana meningkatkan
daya serap ekonomi terhadap tenaga kerja tinggi. Lulusan SMA dan SMK memang
sangat berbeda dengan lulusan Sekolah Dasar (SD) atau di bawahnya. Mereka
biasanya terlalu banyak pilihan mengingat orientasi mereka adalah mendapatkan
pekerjaan yang nyaman dan layak. Inilah yang menjadikan partisipasi angkatan
kerja lulusan SMA dan SMK rendah. Belum lagi mereka yang beralasan sulit
mendapatkan lapangan pekerjaan juga menyumbang rendahnya partisipasi angkatan
kerja. Sedangkan lulusan SD atau di bawahnya, mereka lebih mudah memilih
pekerjaan, apa saja jenis pekerjaannya. Dengan demikian, lulusan SD atau
kebawah dalam pengkategorian “bekerja” selalu masuk dan menyumbang besarnya
angkatan kerja. Inilah mengapa partisipasi angkatan kerja lulusan SD ke bawah
selalu lebih tinggi daripada SMA dan SMK.